(Edisi:Kisah nyata)
Satu rumpung keluarga berkecukupan
(to sogi) hidup disebuah ibu Kota Kecamatan di Kabupaten tetangga. Dengan suka
cuta mereka menyambut kelahiran putra –putri mereka dengan penuh syukur. Mereka
menjalani hari-hari mereka dengan bahagia penuh harapan agar dapat
menghantarkan anak-anaknya kelak pada kehidupan yang lebih baik. Namun takdir
berkata lain, sang Ayah wafat dalam
kondisi anak-anak masih kecil. Roda kehidupan seolah berhenti akibat rasa
kehilangan saat menyaksikan kepergian sang ayah yang diharapkan terus
mendapinginya.
Namun beruntung punya ayah yang
telah menanamkan benih kebaikan dan semangat untuk hidup yang lebih baik sejak
dini, maka Istri dan anak-anak dapat mengatasi kesedihan dan berusaha untuk
bangkit menjalani hidup yang sudah ditakdirkan. Sejak ditinggal Ayah, Ibu kini
mengambil alih peran sebagai kepala sekaligus ibu rumah tangga. Usaha dagang
yang telah dirintis sang ayah diteruskan dengan berbekal semangat ingin mengantarkan
anak-anak menjadi anak yang sukses sesuai harapan almarhum Ayah. Alhamdulillah
nasib baik berpihak pada keluarga nya, semua usahanya semakin maju dan
anak-anak pun semakin tumbuh dewasa.
Suatu ketika putri pertamanya yang
baru lulus sarjana dilamar oleh seorang pemuda baru lulus kuliah dengan bacground
pendidikan Insinyur. Tanpa berpikir panjang, lamaran tersebut di terima,
alhasil pernikahan pun diselenggarakan dengan meriah. Orang-orang menganggapnya
pasangan ideal karena kedua nya memiliki background pendidikan dan strata
sosial yang sama. Alhasil upacara pesta pernikahan rampun dilaksanakan dengan
lancar dan tidak mengalami kendala berarti.
Kedua pihak orangtuanya merasa
senang dan bangga telah menghantarkan putra-putri mereka ke jenjang pernikahan
yang berarti satu kewajiban telah tertunaikan. Kini saatnya memberi ruang dan
waktu kepada pasangan putra putri ini untuk membina keluarga nya dengan baik.
Pasangan ini pun kelihatannya menginginkan hal yang sama, yakni kemerdekaan dan
kebebasan menentukan jalan hidup. Maka dengan sigap dan penuh pengertian sang
ibu dari putri ini memahami dan merestui pilihan jalan yang akan ditempuh. Ibu
sangat faham tentang hakekat berkeluarga berkat bimbingan almarhum suami.
Maka pada suatu hari sang Ibu
menyerahkan uang sebagai bekal/ modal untuk mengawali hidup baru. Beliau sangat
faham kebutuhan pasangan baru seperti mereka yang baru lulus sekolah dan belum
memiliki profesi atau pekerjaan. Maka diserahkan lah sejumlah uang (lebih dari
cukup) dengan harapan sang menantu selaku kepala keluarga dapat mengatur uang
tersebut agar cukup untuk mendirikan usaha. Hari-hari kebahagiaan mereka jalani
dengan baik sambil terus mendiskusikan rencana usaha yang cocok untuk dijalani berdua.
Hari berganti bulan, terus
berganti tahun, usaha yang direncanakan tidak kunjung terwujud. Hingga suatu
saat sang Ibu menanyakan prihal usaha yang tak kunjung terwujud itu. Sang
menantu pun memiliki banyak alasan yang mampu meredam kekhawatiran atau
kecurigaan sang mertua. Namun Ibu mertua bukanlah anak picisan yang gampang menerima
alasan begitu saja. Tanpa terduga sang ibu mertua justru sangat piawai
menghadapi masala-masalah sosial seperti itu. Mental ibu mertua ternyata sudah akrab
dengan kesulitan hidup dan kerasnya penghidupan saat berada di kampung halaman
suami.
Segera sang ibu melakukan sidak
pemeriksaan penggunaan dana yang diserahkan kepada keluarga putrinya itu. Namun
betapa kaget melihat kenyataan ternyata dana yang diserahkan untuk dijadikan
modal usaha tersebut sudah habi terpakai entah kemana. Sang menantu yang
diserahi amanah berusaha memberi alasan, namun tidak membuat sang ibu
bergeming. Maka sang mertua pun tidak kekurangan cara untuk melacak kemana
gerangan uang yang jumlahnya cukup fantastis pada eranya itu. Sang ibu pun
memulai mengembangkan penelusuran dengan bersilaturrahiim ke ruma besan. Disana
dia menemukan titik terang, besan yang hidupnya biasa biasa saja itu
menceritakan prihal rencananya melakukan perjalanan Umroh ke baitullah bersama
suami. Dengan bangga sang besan menceritakan kebanggaan nya terhadap putra dan
mantunya yang baru saja memulai usaha tapi sudah mampu membiayai perjalanan
umrahnya itu. Seketika sang ibu kaget dan tidak lama mohon diri untuk segera
pulang.
Silaturrahim dengan besan rupanya
menjadi awal petakan rumah tangga itu. Tanpa bertele-tele, sang ibu memanggil
putrinya dan meminta saat itu juga menyatakan cerai dengan suaminya. Anak penurut
dan sangat faham karakter serta percaya akan kebaikan orang tuanya tidak banyak
pertimbangan. Saat itu juga dia mengajukan gugatan cerai meski baginya terasa
sangat berat. Dalam keadaan terdesak, suami tidak terima dan merasa
dipermalukan. Suaminya mulai melancarkan teror dan berusaha mencelakai mantan
istrinya. Merasa tidak aman, sang istri beserta ibunya mencari perlindungan
ditempat keluarga nya yang tinggal di daerah lain.
Dalam suasana yang tidak menentu
tersebut, sang istri terus mengevaluasi diri dan merenungi apa yang sedang
terjadi pada dirinya. Ibu pun terus berusaha menghibur dan membesarkan hati
putrinya yang nampak jiwanya sedang tertekan. Di tempat pengasingannya yang berlokasi di
kampung keluarga tersebut sang anak (istri) mendatangi seorang konsultan spiritual
menanyakan prihal apa dan bagaimana permasalahannya bisa teratasi. Sang spiritualist yang sudah memiliki
pengalaman menangani permasalahan yang serupa rupanya memiliki kemampuan supranatural
pula. Sang Supranaturalist menyampaikan bahwasanya yang bersangkutan beserta
keluarganya telah memutus hubungan silaturrahiim (Assisumpungeng lolo na) terhadap
keluarga di kampung halaman orang tuanya di Umpungeng. Dengan perasaan bingung bercampur
ragu yang bersangkutan menanyakan nama tempat yang baru pertama kali
didengarnya itu. Namun sang Supra naturalist tersebut melanjutkan penjelasannya dan
menawarkan solusi pada yang bersangkutan. “ Sebaiknya kamu datang kesana untuk
bersilaturrahiim ”.
Setelah mendapatkan penjelasan
yang cukup maka sang anak pulang kerumah keluarga menemui ibu dan langsung
menanyakan prihal yang disarankan oleh Supra Naturalist.Alhasil terjadilah
dialog antara anak dan ibu:
Ibu: Dari mana saja? Ibu menghawatirkanmu.
Anak: Dari ketemu orang pintar!
“Nasuroka lisu rikampongna tomatoakku massisumpung lolo di Umpungeng, Engka
memeng ga yaseng kampong makkuro?” (Saya
di suruh pulang ke kampung orang tua bernama Umpungeng untuk bersilaturrahiim,
Memang adakah kampung yang bernama Umpungeng? )
Dengan terkesima Ibunya kaget
mendengar penjelasan putrinya dan tidak
menyangka Putrinya bisa menanyakan hal seperti itu. Ibunya sadar bahwa tempat yang
dimaksud itu tidak pernah diceritakan kepada putra-putrinya sejak kecil pasca
ditinggal almarhum suaminya. Seolah terbangun dari mimpi, ibunya teringat masa
lalu yang penuh perjuangan di kampung itu bersama Almarhum Suami beserta
mertuanya. Secara perlahan ibunya mencoba memberi penjelasan kepada putrinya
yang sedari tadi terlihat bingun dan penasaran menunggu penjelasan langsung
darinya:
Ibu: “Begini nak,Ibu minta
maaf, ibu memang tidak pernah bercerita tentang kampung halaman almarhum Ayahmu
bernama Umpungeng, khawatir kau dan adik-adikmu malu punya Ayah orang gunung. Saya
pikir cukuplah ibu yang tau tentang hal ini dan membiarkanmu beserta
adik-adikmu tumbuh dilingkungan perkotaan yang lebih baik”
Sang anak merasa terbakar semangatnya
mendengar penjelasan ibunya, tiba-tiba teringat sosok Ayah yang penuh kasih dan
sangat perhatian itu. Dia tidak perduli lagi dengan tatapan ibunya yang penuh
penyesalan dan dalam keadaan terburai air mata. Tiba-tiba sang anak rindu ingin
mendekap ayahnya, mencium dan meminta maaf atas kealfaannya terhadap kampung yang telah
membesarkan ayahnya, yang telah menempah pribadi ayahnya menjadi orang tua yang
santun, bertanggung jawab dan bersahaja. Sosok ayahnya yang disegani oleh
masyarakat sekitar tempat tinggalnya karena kedermawanan dan ke sopanannya,
karena keuletan dan kesabarannya. Ayahlah yang telah menginspirasi anak-anaknya
untuk tumbuh menjadi pribadi yang tegar dan bertanggung jawab.
Anak:
Dimana lokasi tempat itu dan bagaimana menjangkaunya
kesana?
Ibu: Lokasinya di Kabupaten Soppeng,
namun ibu sudah lupa persisnya dimana, di dekat kota Soppeng, ibu punya sahabat
yang bisa saya mintai tolong. Mudah-mudahan masih hidup. Untuk menjangkau
Umpungeng ibu dan ayahmu dulu harus berjalan kaki melewati gunung, lembah,
sungai dan tebing, tidak ada pilihan lain.
Anak: Kapan kita bisa kesana?
Ibu: Jangan buru-buru, kita
harus melakukan persiapan terlebih dahulu dalam segala hal. Kita juga harus menyiapkan acara do’a
syukuran sebagaimana ibu dan ayahmu dulu sering lakukan. Terutama persiapan fisik
dan mental harus prima, selain medanya berat kita juga haru memahami
kaidah-kaidah yang berlaku disana. Dulu jaman ibu jika masuk ke Umpungeng,
harus menjaga sopan santu, alas kaki saja harus dilepas dan menghidari
perkataan sia-sia. Dulu kita segan menyebut nama Umpungeng, untuk menghindari
kesan masobe (tidak beretika) orang tua kita menyuruh kita menyebutnya Lalabata.
Demikianlah hinga akhirnya silaturrahiim seluruh
keluarga terjalin kembali hingga saat
ini. Meski ikatan pernikahannya tidak bisa lagi diselamatkan, namun
kehidupannya kini lebih tenang menjalani usaha yang sempat terbengkalai. Ibunya
menyampaikan pennyesalan dan bertekad ingin silaturrahiim di Kampung halaman
suaminya sepanjang hayat. Pelajaran bagi kita semua bahwa kita harus menjaga
silaturrahiim kepada keluarga kepada kampung halaman dimana kita dan keluarga
kita dilahirkan. Karena tempat dan tanggal lahir bukannlah keinginan kita tapi
merupakan takdir dari Allah yang patut di syukuri (Dikisahkan oleh Bunda Badriyah S.)
0 komentar:
Posting Komentar